Usia Gili sudah hampir 3 tahun.
Dari bayi yang tak berdaya, hingga sekarang sudah tumbuh jadi anak yang punya pikiran dan kemauan.
Gili mulai pilih baju sendiri, pilih makanan yang dia mau dan mulai bisa bernegosiasi untuk mendapatkan mainan yang dia mau.
Baju kesukaannya adalah baju monkey yang warna kuningnya sudah hampir pudar. Sepatu kesukaannya dipilih saat belanja bulanan. Sepatu karet sederhana berbentuk ikan berwarna biru, yang tidak ada pembeda antara sepatu kanan dan kiri. Mobil mainan kesukaannya adalah mobil yang mirip mobil papanya, hanya bedanya, warnanya hijau. Pilihannya belum dibatasi oleh harga dan estetika. Dia hanya pakai yang membuat dia nyaman.
Setiap pagi, dia terbangun dan mulai absen, “Papa ada? Mama ada?” . Setelah itu seiring berjalannya hari, Gili akan melanjutkan absensi. Tidak ada orang terdekat yang lolos dari ingatannya, mulai dari Nini, Aki, Nining, Bibi, Om Rico, Pak Rohman, Pak Yaya, Mama Tyas, Abang Evan, Papa Abang, Atok, Om Sinat & Om Rizal.
Selanjutnya, biasanya Gili akan bertanya, “Hujan ada? Aeroplane ada? Mobil orang ada?” Pertanyaan yang sama setiap hari. Bosan? Belum. Karena dalam kesederhanaan pikirannya, aku selalu ingin tahu akan dibawa ke mana lagi pikiranku hari ini.
Seperti hari ini. Saat mendengar gemuruh petir, Gili bertanya, “Awan ujan bunyi?” Dengan kosakata yang masih terbatas, dia bisa menjelaskan imajinasi dan pikirannya tentang dari mana asal suara itu. Padahal, kalau dipikir-pikir, Gili belum pernah menembus langit atau membaca buku tentang asal usul petir. Terlepas benar atau tidak, rasanya aku masih belum berhak mengatur pikirannya.
Baru saja Gili kembali datang dengan kalimat yang membuatku tersenyum, “Udah gelap, langitnya dibuka biar nyala, mama” . Pernyataan yang sederhana, haruskan aku jawab dengan ilmu pengetahuan? Ataukah kubiarkan saja ia menguasai ilmu kesederhanaan?
Lagi-lagi aku masih merasa belum ingin mengusik imajinasinya dengan realita.
Pikirannya masih terlalu indah, bahkan terkadang membuatku iri.
Aku sudah menjadi manusia dengan segala keterbatasan. Sejak kapan ya aku berhenti menjadi orang dengan pikiran sesedehana Gili? Apakah karena tuntutan dunia? Tingkat kedewasaan? Gengsi? Atau karena terlalu banyak tahu?
Saat keterbatasan kosakata menjadikan Gili sosok manusia tanpa keterbatasan pemikiran, aku malah tumbuh menjadi manusia yang terisolasi dengan “kata-kata”. Buat aku planet ya planet, tapi buat Gili planet itu di langit pocoyo, temennya star, moon dan shapenya circle kayak papa”.
Kadang suka berpikir, benarkah Gili harus belajar banyak dari manusia seperti aku? Entah kenapa aku merasa lebih banyak belajar darinya.
Seakan dia terlahir untuk menyederhanakan pikiranku atau sekedar mengajariku untuk menemukan keindahan dalam keterbatasan.
Hampir 3 tahun kamu bersamaku. Lucky me, bisa menyaksikan ketulusan jiwa yang selalu tersenyum melihat dunia.
Aku tidak akan mengubahmu. Dan berharap dunia tidak akan membatasimu.
Aku hanya bisa menawarkan pelukan dan kehangatan. Karena itulah satu-satunya jiwa masa kecilku yang tersisa, yang akan kuberikan sepenuhnya untukmu.
Selamat tidur, beautiful mind.